MENGENAL SKIZOFRENIA



MENGENAL SKIZOFRENIA DALAM
PERSPEKTIF PSIKOLOGI UNTUK MASYARAKAT MODERN
Oleh: Jul “LemboadE”
Yogyakarta. 30-November-2016

Skizofrenia (Schizophrenia) adalah salah satu bentuk perilaku abnormal berat yang mencakup apa yang bagi kebanyakan orang dikenal sebagai “kegilaan”
Skizofrenia masyarakat awam menyebutnya sebagai “Gila” adalah sekelompok reaksi psikosis, yang ciri-cirinya adalah pengunduran diri dari kehidupan sosial, mengalami gangguan emosional dan efektif yang kadangkala disertai halusinasi dan delusi serta tingkahlaku negatif atau merusak. Jumlah penderita skizofreria di seluruh dunia, diperkirakan 1 porsen dari seluruh penduduk dunia (corsini,1987). Sekitar 50 persen dari seluruh jumlah tempat tidur di rumah sakit jiwa dihuni oleh penderita skizofrenia (Sugianto Majalah Jiwa, 1990).
Gangguan skizofrenia merupakan penyakit yang sampai hari ini terus diselidiki para ahli. Penyakit ini sifatnya kompleks, mulai dari penyebab yang ditampakannya, respon terhadap pengobatan sampai kepada hasil pengobatannya. Problem psikososial yang terjadi dari penyakit ini sering kali karena ketidaktahuanmasyarakat, khususnya dari keluarga sipenderita.
Penyakit ini sebenarnya sudah ditemukan secara khusus sekitar satu abad yang lalu oleh psikiater Jerman, Emil Kraeplin. Meski sudah lama ditemukan, hanya sedikit orang mengenal penyakit ini. Umumnya masyarakat masih menganggap penderita penyakit ini tidak produktif dan tidak punya masa depan lagi. Hal ini cenderung menghasilkan sikap dan tindakan negatif terhadap para penderita, seperti pemasungan, dan membiarkan mereka membiarkan mereka berkeliaran di jalan raya, bahka ada yang tega memasukan si penderita ke dalam kandang binatang dan di pasing. Sikap negatif ini justru memperburuk keadaan si penderita.
Masalah lain adalah adanya satua anggapan yang keliru dari masyarakat bahwa penyakit ini semata-mata sebagai kutukan Dewa/Tuhan atau akibat sihir/guna-guna. Tidak heran kalau akhirnya banyak orang mencari pengobatan sakit jiwa kepada dukun-dukun. Hal ini dikuatkan dalam penelitian yang lakukan oleh Hardiman Dan Umi (1989) tentang “Upaya Pencarian Kesembuhan Penderita Gangguan Mental” menyimpulkan , dari 99 penderita yang diteliti, ternyata tempat pertama kali yang di kunjungi penderita adalah dukun.
Sebelum hadirnya pendekatan yang holistis terhadap skizofrenia, banyak mitos yang lebih diterima masyarakat sebagai penyebab gangguan ini. Al Siebert dalam jurnal of Ethical Human Sciences and Services (Vol. 1. No 2 1999) berpendapat, massyarakat berpendapat penyakit ini disebabkan kutukan Roh atau Dewa, karena itu hanya bisa disembuhkan lewat medium syaman atau dukun melalui berbagai ritus. Selain itu, penderita skizofrenia dikatakan sebagai orang yang berbahaya dan selalu berbuat kekerasan. Terakhir ada anggapan bahwa ini disebabkan lemahnya iman seseorang sehingga ia mudah di rasuk roh jahat.
Konsekuensi logis dari anggapan tersebut adalah menggunakan terapi eksorsis atau pengusiran terhadap roh jahat, yang dilakukan oleh dukun. Baru pada abad ke 19 muncullah pendapat yang menganggap penyakit jiwa lebih disebabkan faktor biologis (fisik), yaitu kurangnya insulin. Selain itu ada upayah bedah otak (di london), sebab ada keyakinan baru bahwa gangguan jiwa disebabkan adanya kelainan pada otak pasien. Ditemukan juga bahwa skizofrenia disebabkan ketidakseimbangan dua zat kimia dalam otak yakni dopamine dan sorotonin.
Pada abad ke 20 mulai berkembang pendekatan psikologis yang beranggapan gangguan jiwa datang karena pengaruh sosial, ekonomi, ketidakmampuan individu berelasi dengan lingkungan, dan disebabkan hambatan pertumbuhan dalam sepanjang kehidupan individu. Pendekatan ini di mulai hadirnya teori psikoanalisis dari Sigmund Freud (1856-1939) dan behavioral model dari Jhon Watson, Ivan Pavlov, dan B.F. Skinner. Muncullah terapi-terapi baru seperti psikoanalisis, behavior therapy, cognitive therapy, dan sebagainya. Jadi, sampai pada awal abad ke-20 penyakit jiwa dilihat dari aspek yang terbatas dan sempit. Pendekatan yang integratif dan holistis baru dimulai sekitar tahun 1920-an dan berkembang pesat sejak 1960-an.
Skizofrenia adalah sejenis penyakit yang disebabkan faktor-faktor sampai hari ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian menunjukan bahwa penderita umumnya mengalami ketidakseimbangan pada cairan kimia otak (Gordon Gwynner-Timothy, Schizophrenia, 1990), khususnya ketidakseimbangan pada dua jenis cairan kimia otak yakni dopominen dan serotonin. Depomine adalah cairan kimia yang bertanggung jawab pada bagian emosi dan motivasi, sedangkan serotonin bertindak sebagai pembawa berita dan stimulator gerakan-gerakan otot dan saraf. Otak pada penderita skizofrenia mengalami peningkatan pada aktifitas serotonin dan depamine ini.
Beberapa studi lain menunjukan skizofrenia desebabkan adanya virus pada otak. Ada juga karena genetik (inheritan) atau keturunan. Beberapa penelitian menyatakan gen mungkun menjadi penyebab. Anak yang hidup ditengah keluarga yang orang tuanya mengidap skizofrenia terkena skizofrenia juga besar. Ini karena ia melihat contoh dan pola hidup orang tua yang disfungsional dan kemudian ditiru. Beberapa teori lain menemukan ada faktor nutrisi dan lingkungan keluarga dan reaksi terhadap stres menjadi penyebab menjadi skizofrenia. Umumnya para ahli percaya skizofrenia disebabkan kombinasi dari beberapa faktor tersebut di atas.
Walaupun sekitar satu abad penyakit ini dikenal secara khsus, sampai hari ini belum ada kesepakatan dari para ahli tentang penyebab penyakit ini. Oleh karena itu, sampai hari ini terdapat banyak konsep tentang faktor-faktor penyebabnya diantaranya adalah
a.       Faktor genetika
b.      Faktor non genetika (lingkungan)
c.       Faktor biologis
d.      Faktor psikososial
Kriteria resmi skizofrenia diseluruh dunia umumnya mengacu pada Diagnostic Statistical Manual Mental Disorder IV (DSM-IV TR) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (sebuah buku pandual lengkap penyakit jiwa). Kriteria dignostik itu adalah adanya waham (delusi), halusinasi, bicara terdisorganisasi (sering menyimpang), perilaku yang terdisorganisasi. Gejala negatif (afeksinya datar, tidak ada kemauan) dan terjadinya disfungsi sosial atau pekerjaan.
            Dalam lingkungan masyarakat dan negara yang lebih luas, kurangnya ilmu pengetahuan tentang pikiran tidak pernah terlihat sedemikian nyata. Karena ilmu penegtahuan fisik semakin bertambah maju dan jauh melampaui kemampuan manusia untuk memahami manusia. Masalah ini bukan masalah sepele, masalah ini menghadang setiap langkah manusia dan seakan menumpuk dan menunggu bersama yang akan datang. Selama manusia mengenali bahwa kelebihan terbesarnya dibandingkan hewan adalah kemampuan untuk berpikir, selama manusia memahami bahwa pikirannya sendirilah satu-satunya senjatanya, maka manusia mencari, merenungkan dan berdalil dalam upaya-upayanya untuk mencari sebuah solusi.

2 komentar: